No acknowledged business survives after marketing. Even if it is chat of aperture based on casework able-bodied delivered it is still marketing. Commodity Business has the adequacy of cartoon a amazing bulk of barter to your website and is one of the strategies that will access your profits behindhand of the admeasurement of your business. It is not a new anatomy of business either as afore the internet there was consistently paper.
You are announcement your artefact or account by autograph online autograph on accompanying topics. These online autograph accord advice and accommodate the clairvoyant with it. The online autograph are acquaint in directories throughout the internet which accept a cogent bulk of amplitude on the internet with the seek engines. Thousands of humans are able to see these online autograph and again these humans become leads for your artefact or service.
Article business aswell provides links aback to your website and will advice you to body your optin account which is a abstruse or conceivably a able-bodied apperceive actuality of any acknowledged business plan. You accept anyone who you can advance to who already has some absorption in your product. As continued as you are carrying a artefact of amount that humans wish you should be able to abide to advertise to these humans already you originally
gain their trust.
In autograph your articles, accomplish them advisory and strive to accommodate your -to-be clairvoyant with advice they ability be absorbed in reading. Your banderole to the commodity should draw your clairvoyant to the commodity and accomplish them analytical so that they wish to apprehend it. Again as they abide to read, the commodity should grab their attention. In added words it should appear on able appropriate from the start.
You wish to again advance your online autograph to assorted directories on the web. There are accessible accoutrement to do this and to accomplish it easier. There is software and associates sites that cut down the time and accomplishment to auspiciously accomplishing commodity marketing.
Keep your agreeable safe and absorb it. Publish the agreeable on your website. Accomplish abiding you accept a hotlink aback to your website in the Resource Box so that you accretion added links to your website and it grows. Your online autograph should be aboriginal and your keyword agreeable should be about 3 to 5 percent of the all-embracing agreeable of the article. Overdone, the seek engines are not blessed and neither will you be.
If you chase these basal guidelines of commodity business and abide to brainwash yourself, you should see your business grow. It does not appear overnight, but if you accumulate at it you should acquire the allowances of your endeavors. Good luck to you.
Rabu, 13 Mei 2009
Minggu, 25 November 2007
..tabik..
tak ada hal yang paling membahagiakan saat ini selain kembali ke dunia maya. meski kadang2 tak bersua dan mata tak pernah bertatap. namun, hati-hati kita sepertinya selalu bertaut.jika saja begitu entah apa namanya...tapi suatu ketika temanku berujar, mungkin itu risalah kerinduan.
setelah beberapa hari tak 'online', apalagi menjelajah semesta lewat benturan partikel-partikel fisika,maka muulai saat ini.aku datang lewat maya. dalam malam yang bertaut sepi dan siang yang bermandikan cahaya
mungkin saja ini sebuah awal, atau bisa juga sebuah akhir dari selaksa kehidupan yang makin tak harmonis ini. semoga jalinan kasih di kehidupan ini tak pudar. dan kita yang tak mengenal secara empiris mampu mendapat hikmah dari perkenalan ini.
akhirnya,,,saya kembai memohon ijin untuk bergabung dengan orang-orang berarti seperti kawan-kawan semua.
slam ismawan anakmudamao
perempuan impian
seperti angin aku datang lewat semilir udara malam
membisikkan kata-kata yang mulai usang
melantunkan tembang dan syair para pandewa
hingga kutemukan dirimu dalam labirin yang tak berujung..
tamalanrea, 241107
Unhas Bersatu, Sebuah Mimpi
Aksi Demonstrasi mahasiswa Unhas dua Mei lalu masih jelas berbekas dalam benak saya. Betapa tidak, mahasiswa jaket merah kampus ini berupaya menyuarakan aspirasinya dengan menggelar aksi damai. Mereka berbondong-bondong menuju Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulsel. Kerelaan meninggalkan bangku kuliah, praktikum, asistensi, dan segala aktivitas belajar. Itu semua hanya untuk menuntut agar pendidikan di negeri ini diberi perhatian. Agar, mata para pejabat yang menikmati kursi empuk kekuasaan terbuka lebar. Khususnya menyangkut persoalan BHP yang-sebentar lagi akan diberlakukan. Jika benar terjadi, maka pupus sudah harapan pendidikan murah dan selamat datang pendidikan mahal.
Sekali-lagi, perasaan haru berkecamuk melihat semangat teman-teman mahasiswa yang turun aksi kala itu. Ada perasaan bangga. Apalagi saat orator seperti Wawan, Jihad, Somba, Ikbal, dll (semoga keselamatan selalu tercurah padanya) menggugah semangat mahasiswa. Berasal dari fakultas yang berbeda-beda. Sekat-sekat antar fakultas sepertinya luntur. Tak mengenal senior dan junior. Nampak juga para mahasiswa baru bercampur baur dengan sesamanya yang datang dari fakultas lain. Ada kebahagiaan saat bertemu sapa dengan teman SMA dulu. Sepertinya mahasiswa baru ini melepas kerinduan di kerumunan massa. Semua bersama dan bersatu menyuarakan penolakan terhadap pendidikan mahal.
Aksi ini melibatkan mahasiswa Unhas dalam jumlah besar setelah kasus penolakan terhadap kenaikan BBM 2006 lalu. Pun menyatu di bawah payung Aliansi Mahasiswa Unhas. Sebuah pertanyaan kemudian muncul. Kok tak bergerak di bawah bendera keluarga mahasiswa Unhas. Bukankah di kampus ini telah ada lembaga mahasiswa tingkat universitas. Apakah karena Kema Unhas tak mewakili empat belas badan eksekutif tingkat fakultas, atau Kema Unhas tak refresentatif hingga tak diakui, ataukah agar aksi ini juga bisa mewadahi teman-teman dari Sema FT, BEM Sastra, Sema Kelautan, dan BEM FKM. Entahlah..? Terlepas dari itu semua, yang pasti hari itu ada harapan untuk bersatu. Setidaknya hari itu.
Tapi, perasaan kecewa mulai muncul ketika hampir terjadi adu jotos sesama mahasiswa Unhas. Sekali lagi kita memperlihatkan betapa lunturnya kebersamaan yang coba kita bangun. Tak di dalam kampus, pun di luar kampus. Pemicunya bukan hal besar, namun persoalan BEM Unhas. Saat rombongan pertama yang membawa panji tiap fakultas berhenti di depan gedung dewan. Tiba-tiba dari arah belakang muncul peserta aksi yang tubuhnya dibaluti bendera Kema Unhas. Spontan saja, barisan paling depan kaget, lalu ada yang berteriak “Kenapa ada bendera BEM Unhas di sini,”. Beberapa orang pun mengejar dan meminta agar bendera itu dilepaskan. Untung saja masih ada kerelaan, dan jiwa besar hingga kericuhan tak berlangsung lama dan masalah itu selesai. Setelah itu, aksi kemudian dilanjutkan ke gedung dewan.
Saya kenal dekat dengan mahasiswa yang teriak pertama kali itu. Sejak berangkat dari kampus kami selalu bersama. Ia teman saya semasa di SMU 5 Makassar dulu (semoga keselamatan selalu tercurah padanya). Selepas aksi, kami juga pulang bersama. Dalam perjalanan, kami diskusi tentang kejadian tadi. Sebetulnya ia hanya kecewa pada BEM Unhas. Kenapa baru sekarang muncul. Lalu kemana BEM Unhas saat banyak mahasiswa Unhas yang diskorsing oleh pihak birokrasi kampus yang Sok!.
Selang beberapa hari kemudian. Suatu senja di pelataran PKM, saya juga bertemu dengan mahasiswa yang membawa bendera Kema itu. Ia juga kawan dekat saya di kampus, teman diskusi dan tempat minjam buku. ”Kok, kamu berani menerobos barisan depan dengan bendera BEM Unhas,” tanyaku. Ia lalu jelaskan semuanya. Baginya apa yang ia lakukan adalah bentuk ’gugatan’ terhadap perangkat Kema, termasuk Parlemen Mahasiswa, dan BEM Unhas yang tak mampu mewadahi aksi mahasiswa ini. “Mengapa harus ada lagi aliansi mahasiswa Unhas, padahal sudah ada lembaga tingkat universitas,” ungkapnya.
Mendengar penjelasannya, saya merenungi jika kedua teman saya ini sama-sama kecewa. Namun, melalui apresiasi yang berbeda. Tapi, kejadian itu sebenarnya hanya soal komunikasi saja yang tak sampai. Jika sejak awal dibicarakan, insiden yang hampir membuat sesama Unhas bentrok tak perlu terjadi. Semuanya kan bisa didialogiskan.
Berkaca pada insiden itu, sepertinya kita perlu merefleksikan setiap peran dan amanah yang diberikan. Merefleksikan nilai-nilai ’bersesama’ yang hilang. Pasalnya untuk kesekian kali kita belum bisa mengusung kata sepakat pada suatu hal.
Suatu saat mungkin kita perlu berterima kasih pada seseorang yang pertama kali menciptakan ungkapan Unhas bersatu, tak bisa dikalahkan. Sebab, kata-kata itu cukup hangat jika saja bisa terwujud. Semoga. Sebab ini hanya sebuah harapan.
Sekali-lagi, perasaan haru berkecamuk melihat semangat teman-teman mahasiswa yang turun aksi kala itu. Ada perasaan bangga. Apalagi saat orator seperti Wawan, Jihad, Somba, Ikbal, dll (semoga keselamatan selalu tercurah padanya) menggugah semangat mahasiswa. Berasal dari fakultas yang berbeda-beda. Sekat-sekat antar fakultas sepertinya luntur. Tak mengenal senior dan junior. Nampak juga para mahasiswa baru bercampur baur dengan sesamanya yang datang dari fakultas lain. Ada kebahagiaan saat bertemu sapa dengan teman SMA dulu. Sepertinya mahasiswa baru ini melepas kerinduan di kerumunan massa. Semua bersama dan bersatu menyuarakan penolakan terhadap pendidikan mahal.
Aksi ini melibatkan mahasiswa Unhas dalam jumlah besar setelah kasus penolakan terhadap kenaikan BBM 2006 lalu. Pun menyatu di bawah payung Aliansi Mahasiswa Unhas. Sebuah pertanyaan kemudian muncul. Kok tak bergerak di bawah bendera keluarga mahasiswa Unhas. Bukankah di kampus ini telah ada lembaga mahasiswa tingkat universitas. Apakah karena Kema Unhas tak mewakili empat belas badan eksekutif tingkat fakultas, atau Kema Unhas tak refresentatif hingga tak diakui, ataukah agar aksi ini juga bisa mewadahi teman-teman dari Sema FT, BEM Sastra, Sema Kelautan, dan BEM FKM. Entahlah..? Terlepas dari itu semua, yang pasti hari itu ada harapan untuk bersatu. Setidaknya hari itu.
Tapi, perasaan kecewa mulai muncul ketika hampir terjadi adu jotos sesama mahasiswa Unhas. Sekali lagi kita memperlihatkan betapa lunturnya kebersamaan yang coba kita bangun. Tak di dalam kampus, pun di luar kampus. Pemicunya bukan hal besar, namun persoalan BEM Unhas. Saat rombongan pertama yang membawa panji tiap fakultas berhenti di depan gedung dewan. Tiba-tiba dari arah belakang muncul peserta aksi yang tubuhnya dibaluti bendera Kema Unhas. Spontan saja, barisan paling depan kaget, lalu ada yang berteriak “Kenapa ada bendera BEM Unhas di sini,”. Beberapa orang pun mengejar dan meminta agar bendera itu dilepaskan. Untung saja masih ada kerelaan, dan jiwa besar hingga kericuhan tak berlangsung lama dan masalah itu selesai. Setelah itu, aksi kemudian dilanjutkan ke gedung dewan.
Saya kenal dekat dengan mahasiswa yang teriak pertama kali itu. Sejak berangkat dari kampus kami selalu bersama. Ia teman saya semasa di SMU 5 Makassar dulu (semoga keselamatan selalu tercurah padanya). Selepas aksi, kami juga pulang bersama. Dalam perjalanan, kami diskusi tentang kejadian tadi. Sebetulnya ia hanya kecewa pada BEM Unhas. Kenapa baru sekarang muncul. Lalu kemana BEM Unhas saat banyak mahasiswa Unhas yang diskorsing oleh pihak birokrasi kampus yang Sok!.
Selang beberapa hari kemudian. Suatu senja di pelataran PKM, saya juga bertemu dengan mahasiswa yang membawa bendera Kema itu. Ia juga kawan dekat saya di kampus, teman diskusi dan tempat minjam buku. ”Kok, kamu berani menerobos barisan depan dengan bendera BEM Unhas,” tanyaku. Ia lalu jelaskan semuanya. Baginya apa yang ia lakukan adalah bentuk ’gugatan’ terhadap perangkat Kema, termasuk Parlemen Mahasiswa, dan BEM Unhas yang tak mampu mewadahi aksi mahasiswa ini. “Mengapa harus ada lagi aliansi mahasiswa Unhas, padahal sudah ada lembaga tingkat universitas,” ungkapnya.
Mendengar penjelasannya, saya merenungi jika kedua teman saya ini sama-sama kecewa. Namun, melalui apresiasi yang berbeda. Tapi, kejadian itu sebenarnya hanya soal komunikasi saja yang tak sampai. Jika sejak awal dibicarakan, insiden yang hampir membuat sesama Unhas bentrok tak perlu terjadi. Semuanya kan bisa didialogiskan.
Berkaca pada insiden itu, sepertinya kita perlu merefleksikan setiap peran dan amanah yang diberikan. Merefleksikan nilai-nilai ’bersesama’ yang hilang. Pasalnya untuk kesekian kali kita belum bisa mengusung kata sepakat pada suatu hal.
Suatu saat mungkin kita perlu berterima kasih pada seseorang yang pertama kali menciptakan ungkapan Unhas bersatu, tak bisa dikalahkan. Sebab, kata-kata itu cukup hangat jika saja bisa terwujud. Semoga. Sebab ini hanya sebuah harapan.
ISMAWAN AS..www. mawo_as@yahoo.co.id
Uang Komite Ala Birokrasi Latah
Mahasiswa baru angkatan 2007 harus bisa belajar berlapang dada. Hal ini terjadi karena di beberapa fakultas mereka mesti membayar iuran. Namanya iuaran Persatua Orangtua Mahasiswa dan Dosen, singkatnya POMD. Dulu, iuran ini tidak menjadi kewajiban, hanya berlaku untuk mahasiswa yang mau membayar saja. Namun entah apa yang jadi pikiran birokrat sehingga iuran ini kemudian jadi wajib. Bahkan, proses mengurus beasiswa dan sarjana akan dipersulit jika tak melunasi iuran ini.
Mengenai POMD, sejenak mari kita melirik ke belakang. Semasa masih di bangku sekolah. Tiap siswa dikenakan iuran BP3, iuran komite, dan hal ini jadi wajib untuk dibayar. Soalnya besarnya iuran merupakan hasil keputusan orang tua siswa. Itu yang selalu jadi tembok bertahan jika saja ada yang protes.
Rupanya di kampus pun demikian. Uang komite juga jadi wajib dibayar. Bedanya hanya dari segi nama. Jika di SMA dikenal dengan komite sekolah, maka di kampus kita kenal dengan POMD. Lucunya, mengenai besarnya iuran disepakati hanya sebagian orang tua mahasiswa. Misalnya saja di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, dari ratusan mahasiswa di fakultas itu. Hanya puluhan orang tua mahasiswa yang hadir menyepakati jumlah biaya ini. Hal sama terjadi di Fakultas Sastra, hanya 120 orang tua mahasiwsa yang hadir. Nasib sama juga terjadi di beberapa fakultas. Artinya, besarnya biaya POMD hanya disepakati sebagian kecil orang tua mahasiswa.
Kemudian yang masih menjadi pertanyaan, iuran ini sepertinya tak memiliki kejelasan program. Akuntabilitasnya di beberapa fakultas pun dipertanyakan. Dana itu digunakan untuk apa. Mekanisme pelaporannya bagaimana. Inilah yang masih jadi catatan buat pengelola POMD itu. Penolakan terhadap iuran ini pun mulai terjadi. Namun, birokrasi tetap bersikukuh dengan keputusannya.
Meski demikian, di beberapa fakultas POMD tak berlaku. FMIPA misalnya, sejak 2005 lalu pengurus lembaga mengadvokasi keputusan fakultas yang memberlakukan POMD sebesar Rp 250 ribu. Itu pun pada 2006, mahasiswa yang melakukan advokasi masih kecolongan dengan adanya beberapa mahasiswa yang mebayar. Sama halnya di Fakultas Sastra, keinginan pihak birokrasi mengadakan iuran POMD sebesar Rp 500 ribu per mahasiswa ditolak secara tegas. Aksi penolakan pun dilakukan pengurus lembaga kemahasiswaan, dan hasilnya POMD dibatalkan.
Yang menarik dari persoalan POMD di kampus ini adalah semangat fakultas memberlakukan dan menaikkan POMD. Kita mesti bertanya semangat apa yang mendasari birokrasi mengambil jalan ini. Lihat saja di Fakultas Kedokteran, dari 2004 hingga 2007 mengalami kenaikan. Jumlahnya sebesar Rp 210 ribu sampai Rp 450 ribu persemester. Di Fakultas Peternakan. Angkatan 2005 sebesar Rp 150 ribu dan angkatan 2007 sebesar Rp 500 ribu. Di FIKP juga mengalami kenaikan dari Rp 100 ribu jadi Rp 200 ribu tahun 2007 ini.
Seperti itulah iuran POMD, terusa mengalami kenaikan tanpa ada kejelasan program. Birokrasi kampus juga jadi latah dengan adanya POMD. Seenaknya saja menaikan dengan dalih kesepakatan orang tua mahasiswa.
Semangat POMD yang diberlakukan birokrasi latah di kampus ini perlu jadi perhatian. Apalagi isu perubahan status Unhas jadi PT "raja"
Mengenai POMD, sejenak mari kita melirik ke belakang. Semasa masih di bangku sekolah. Tiap siswa dikenakan iuran BP3, iuran komite, dan hal ini jadi wajib untuk dibayar. Soalnya besarnya iuran merupakan hasil keputusan orang tua siswa. Itu yang selalu jadi tembok bertahan jika saja ada yang protes.
Rupanya di kampus pun demikian. Uang komite juga jadi wajib dibayar. Bedanya hanya dari segi nama. Jika di SMA dikenal dengan komite sekolah, maka di kampus kita kenal dengan POMD. Lucunya, mengenai besarnya iuran disepakati hanya sebagian orang tua mahasiswa. Misalnya saja di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, dari ratusan mahasiswa di fakultas itu. Hanya puluhan orang tua mahasiswa yang hadir menyepakati jumlah biaya ini. Hal sama terjadi di Fakultas Sastra, hanya 120 orang tua mahasiwsa yang hadir. Nasib sama juga terjadi di beberapa fakultas. Artinya, besarnya biaya POMD hanya disepakati sebagian kecil orang tua mahasiswa.
Kemudian yang masih menjadi pertanyaan, iuran ini sepertinya tak memiliki kejelasan program. Akuntabilitasnya di beberapa fakultas pun dipertanyakan. Dana itu digunakan untuk apa. Mekanisme pelaporannya bagaimana. Inilah yang masih jadi catatan buat pengelola POMD itu. Penolakan terhadap iuran ini pun mulai terjadi. Namun, birokrasi tetap bersikukuh dengan keputusannya.
Meski demikian, di beberapa fakultas POMD tak berlaku. FMIPA misalnya, sejak 2005 lalu pengurus lembaga mengadvokasi keputusan fakultas yang memberlakukan POMD sebesar Rp 250 ribu. Itu pun pada 2006, mahasiswa yang melakukan advokasi masih kecolongan dengan adanya beberapa mahasiswa yang mebayar. Sama halnya di Fakultas Sastra, keinginan pihak birokrasi mengadakan iuran POMD sebesar Rp 500 ribu per mahasiswa ditolak secara tegas. Aksi penolakan pun dilakukan pengurus lembaga kemahasiswaan, dan hasilnya POMD dibatalkan.
Yang menarik dari persoalan POMD di kampus ini adalah semangat fakultas memberlakukan dan menaikkan POMD. Kita mesti bertanya semangat apa yang mendasari birokrasi mengambil jalan ini. Lihat saja di Fakultas Kedokteran, dari 2004 hingga 2007 mengalami kenaikan. Jumlahnya sebesar Rp 210 ribu sampai Rp 450 ribu persemester. Di Fakultas Peternakan. Angkatan 2005 sebesar Rp 150 ribu dan angkatan 2007 sebesar Rp 500 ribu. Di FIKP juga mengalami kenaikan dari Rp 100 ribu jadi Rp 200 ribu tahun 2007 ini.
Seperti itulah iuran POMD, terusa mengalami kenaikan tanpa ada kejelasan program. Birokrasi kampus juga jadi latah dengan adanya POMD. Seenaknya saja menaikan dengan dalih kesepakatan orang tua mahasiswa.
Semangat POMD yang diberlakukan birokrasi latah di kampus ini perlu jadi perhatian. Apalagi isu perubahan status Unhas jadi PT "raja"
Sabtu, 24 November 2007
Langganan:
Postingan (Atom)