Mahasiswa baru angkatan 2007 harus bisa belajar berlapang dada. Hal ini terjadi karena di beberapa fakultas mereka mesti membayar iuran. Namanya iuaran Persatua Orangtua Mahasiswa dan Dosen, singkatnya POMD. Dulu, iuran ini tidak menjadi kewajiban, hanya berlaku untuk mahasiswa yang mau membayar saja. Namun entah apa yang jadi pikiran birokrat sehingga iuran ini kemudian jadi wajib. Bahkan, proses mengurus beasiswa dan sarjana akan dipersulit jika tak melunasi iuran ini.
Mengenai POMD, sejenak mari kita melirik ke belakang. Semasa masih di bangku sekolah. Tiap siswa dikenakan iuran BP3, iuran komite, dan hal ini jadi wajib untuk dibayar. Soalnya besarnya iuran merupakan hasil keputusan orang tua siswa. Itu yang selalu jadi tembok bertahan jika saja ada yang protes.
Rupanya di kampus pun demikian. Uang komite juga jadi wajib dibayar. Bedanya hanya dari segi nama. Jika di SMA dikenal dengan komite sekolah, maka di kampus kita kenal dengan POMD. Lucunya, mengenai besarnya iuran disepakati hanya sebagian orang tua mahasiswa. Misalnya saja di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, dari ratusan mahasiswa di fakultas itu. Hanya puluhan orang tua mahasiswa yang hadir menyepakati jumlah biaya ini. Hal sama terjadi di Fakultas Sastra, hanya 120 orang tua mahasiwsa yang hadir. Nasib sama juga terjadi di beberapa fakultas. Artinya, besarnya biaya POMD hanya disepakati sebagian kecil orang tua mahasiswa.
Kemudian yang masih menjadi pertanyaan, iuran ini sepertinya tak memiliki kejelasan program. Akuntabilitasnya di beberapa fakultas pun dipertanyakan. Dana itu digunakan untuk apa. Mekanisme pelaporannya bagaimana. Inilah yang masih jadi catatan buat pengelola POMD itu. Penolakan terhadap iuran ini pun mulai terjadi. Namun, birokrasi tetap bersikukuh dengan keputusannya.
Meski demikian, di beberapa fakultas POMD tak berlaku. FMIPA misalnya, sejak 2005 lalu pengurus lembaga mengadvokasi keputusan fakultas yang memberlakukan POMD sebesar Rp 250 ribu. Itu pun pada 2006, mahasiswa yang melakukan advokasi masih kecolongan dengan adanya beberapa mahasiswa yang mebayar. Sama halnya di Fakultas Sastra, keinginan pihak birokrasi mengadakan iuran POMD sebesar Rp 500 ribu per mahasiswa ditolak secara tegas. Aksi penolakan pun dilakukan pengurus lembaga kemahasiswaan, dan hasilnya POMD dibatalkan.
Yang menarik dari persoalan POMD di kampus ini adalah semangat fakultas memberlakukan dan menaikkan POMD. Kita mesti bertanya semangat apa yang mendasari birokrasi mengambil jalan ini. Lihat saja di Fakultas Kedokteran, dari 2004 hingga 2007 mengalami kenaikan. Jumlahnya sebesar Rp 210 ribu sampai Rp 450 ribu persemester. Di Fakultas Peternakan. Angkatan 2005 sebesar Rp 150 ribu dan angkatan 2007 sebesar Rp 500 ribu. Di FIKP juga mengalami kenaikan dari Rp 100 ribu jadi Rp 200 ribu tahun 2007 ini.
Seperti itulah iuran POMD, terusa mengalami kenaikan tanpa ada kejelasan program. Birokrasi kampus juga jadi latah dengan adanya POMD. Seenaknya saja menaikan dengan dalih kesepakatan orang tua mahasiswa.
Semangat POMD yang diberlakukan birokrasi latah di kampus ini perlu jadi perhatian. Apalagi isu perubahan status Unhas jadi PT "raja"
Mengenai POMD, sejenak mari kita melirik ke belakang. Semasa masih di bangku sekolah. Tiap siswa dikenakan iuran BP3, iuran komite, dan hal ini jadi wajib untuk dibayar. Soalnya besarnya iuran merupakan hasil keputusan orang tua siswa. Itu yang selalu jadi tembok bertahan jika saja ada yang protes.
Rupanya di kampus pun demikian. Uang komite juga jadi wajib dibayar. Bedanya hanya dari segi nama. Jika di SMA dikenal dengan komite sekolah, maka di kampus kita kenal dengan POMD. Lucunya, mengenai besarnya iuran disepakati hanya sebagian orang tua mahasiswa. Misalnya saja di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, dari ratusan mahasiswa di fakultas itu. Hanya puluhan orang tua mahasiswa yang hadir menyepakati jumlah biaya ini. Hal sama terjadi di Fakultas Sastra, hanya 120 orang tua mahasiwsa yang hadir. Nasib sama juga terjadi di beberapa fakultas. Artinya, besarnya biaya POMD hanya disepakati sebagian kecil orang tua mahasiswa.
Kemudian yang masih menjadi pertanyaan, iuran ini sepertinya tak memiliki kejelasan program. Akuntabilitasnya di beberapa fakultas pun dipertanyakan. Dana itu digunakan untuk apa. Mekanisme pelaporannya bagaimana. Inilah yang masih jadi catatan buat pengelola POMD itu. Penolakan terhadap iuran ini pun mulai terjadi. Namun, birokrasi tetap bersikukuh dengan keputusannya.
Meski demikian, di beberapa fakultas POMD tak berlaku. FMIPA misalnya, sejak 2005 lalu pengurus lembaga mengadvokasi keputusan fakultas yang memberlakukan POMD sebesar Rp 250 ribu. Itu pun pada 2006, mahasiswa yang melakukan advokasi masih kecolongan dengan adanya beberapa mahasiswa yang mebayar. Sama halnya di Fakultas Sastra, keinginan pihak birokrasi mengadakan iuran POMD sebesar Rp 500 ribu per mahasiswa ditolak secara tegas. Aksi penolakan pun dilakukan pengurus lembaga kemahasiswaan, dan hasilnya POMD dibatalkan.
Yang menarik dari persoalan POMD di kampus ini adalah semangat fakultas memberlakukan dan menaikkan POMD. Kita mesti bertanya semangat apa yang mendasari birokrasi mengambil jalan ini. Lihat saja di Fakultas Kedokteran, dari 2004 hingga 2007 mengalami kenaikan. Jumlahnya sebesar Rp 210 ribu sampai Rp 450 ribu persemester. Di Fakultas Peternakan. Angkatan 2005 sebesar Rp 150 ribu dan angkatan 2007 sebesar Rp 500 ribu. Di FIKP juga mengalami kenaikan dari Rp 100 ribu jadi Rp 200 ribu tahun 2007 ini.
Seperti itulah iuran POMD, terusa mengalami kenaikan tanpa ada kejelasan program. Birokrasi kampus juga jadi latah dengan adanya POMD. Seenaknya saja menaikan dengan dalih kesepakatan orang tua mahasiswa.
Semangat POMD yang diberlakukan birokrasi latah di kampus ini perlu jadi perhatian. Apalagi isu perubahan status Unhas jadi PT "raja"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar